Beranda | Artikel
Hukum Mushaf Wakaf Ketika Rusak Atau Robek
Senin, 14 Desember 2009

HUKUM MUSHAF WAKAF KETIKA RUSAK ATAU ROBEK

Pertanyaan
Apa hukum mushaf yang diwakafkan kalau rusak atau robek, apa harus diperbaiki atau menggantikannya atau dibiarkan tetap pada kondisinya? Apakah diperbolehkan untuk dimusnahkan atau tidak?

Jawaban
Alhamdulillah.

Pertama : Kalau mushaf rusak pada sebagian atau robek dan memungkinkan untuk diperbaiki dan dijilid kembali, maka hal itu yang lebih baik dan lebih utama. Termasuk perbuatan baik yang orang akan diberi pahala. Melainkan hal itu tidak merupakan kewajiban agama yang mengharuskan orang yang wakaf atau orang lain untuk melakukannya. Akan tetapi diambilkan nafkahnya dari keuangan masjid kalau sekiranya masjid mempunyai wakaf khusus untuk biaya perbaikannya. Kalau tidak, yang bertanggung jawab adalah direktur wakaf. Hal itu karena wakaf yang tidak ada dana untuk pembiayaannya diambilkan dari baitul mal (kas Negara).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata terkait dengan biaya persenjataan yang diwakafkan, “Kalau orang yang berwakaf mensyaratkan hal itu, kalau tidak. Maka pembiayaannya diambil dari baitul mal seperti semua wakaf untuk kepentingan umum seperti masjid. Kalau tidak memungkinkan pembiayaannya, maka dijual. Sehingga orang yang mewakafkan tidak diharuskan membiayainya.’[Majmu’ Al-Fatawa, 31/235]

Dikatakan dalam kitab ‘Kasyaful Qana’, 4/265, “Kalau sekiranya wakafnya tidak ditentukan seperti untuk orang-orang miskin, maka pembiayaannya dari baitul mal. Kalau tidak memungkinkan, maka dijual.”

Kedua : Kalau sekiranya mushaf yang diwakafkan itu dalam kondisi yang tidak memungkinkan diambil manfaatnya dikarenakan sudah rusak dan sobek. Maka dalam kondisi seperti ini, boleh dimusnahkan. Para ulama’ cara memusnahkan ada dua pendapat, diantara mereka ada yang berpendapat dikubur di tanah. Dan ini madzhab Hanafiyah dan Hambali.

Al-Haskafi dari ulama’ fiqih Hanafiyah mengatakan, “Mushaf kalau sudah dalam kondisi yang tidak dapat dibaca lagi, maka dikubur seperti orang Islam.” (dari kitab ‘Ad-Dur Mukhtar, 1/191). Pemilik kitab Hasyiyah memberikan komentar akan hal itu dengan mengatakan, “Yakni ditaruh di tempat suci dan di kubur di tempat yang tidak dilecehkan. Yang tidak diinjak.

Bahuti dari ulama’ Hambali mengatakan, “Kalau mushafnya rusak atau lapuh, maka dikubur sesuai dengan nash. Ahmad menyebutkan bahwa Abu Al-Jauza’ mempunyai mushaf yang rusak kemudian beliau menggali di dalam masjid dan menguburkannya.[Kasyaful Qana’, 1/137]

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Kalau ada mushaf tua yang sudah robek dimana tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk dibaca, maka dikubur di tempat aman. Sebagaimana kemulyaan tubuh orang mukmin, dikubur di tempat aman.’ Selesai ‘Majmu’ Al-Fatawa, 12/599.

Diantara ahli ilmu ada yang berpendapat bahwa mushaf yang rusak di bakar dengan api. Dan ini pendapat Malikiyah dan Syafiiyyah. Hal itu mencontoh Utsman bin Affan ketika memerintahkan mushaf-mushaf yang ada di tangan orang-orang untuk dibakar setelah dikumpulkan mushaf Imam. Kisah pembakaran Utsman terhadap mushaf diriwayatkan oleh Bukhari di Shahihnya, 4988 diantara di dalamnya ada:

فَأَرْسَلَ عُثْمَانُ إِلَى حَفْصَةَ أَنْ أَرْسِلِي إِلَيْنَا بِالصُّحُفِ نَنْسَخُهَا فِي الْمَصَاحِفِ ثُمَّ نَرُدُّهَا إِلَيْكِ ، فَأَرْسَلَتْ بِهَا حَفْصَةُ إِلَى عُثْمَانَ ، فَأَمَرَ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ ، وَسَعِيدَ بْنَ الْعَاصِ ، وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ ، فَنَسَخُوهَا فِي الْمَصَاحِفِ …وَأَرْسَلَ إِلَى كُلِّ أُفُقٍ بِمُصْحَفٍ مِمَّا نَسَخُوا ، وَأَمَرَ بِمَا سِوَاهُ مِنْ الْقُرْآنِ فِي كُلِّ صَحِيفَةٍ أَوْ مُصْحَفٍ أَنْ يُحْرَقَ

Kemudian Utsman mengirim (utusan) ke Hafshoh agar beliau mengirim kepada kami mshaf untuk ditulis ulang lagi di mushaf kemudian dikembalikan kepadanya. Kemudian Hafsah mengirimnya ke Utsman. Dan (Utsman) memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menulis kembali di mushaf. Kemudian mengirim mushaf yang telah ditulis kembali ke seluruh daerah. Dan beliau memerintahkan agar membakar semua mushaf Al-Qur’an dan lembaran (Al-Qur’an) selain dari yang ditulis ulang.

Dari Mus’ab bin Saad berkata, “Saya mendapatkan orang-orang telah bercukupan (mushaf) ketika Utsman memerintahkan untuk membakar mushaf. Yang lebih mengherankan lagi, tidak ada seorangpun yang mengingkarinya.” [HR. Abu Bakar bin Abu Dawud di ‘Kitabul Mashohif, 41].

Ibnu Battol mengatakan, “Dalam perintah Utsman untuk membakar lembaran dan mushaf ketika Al-Qur’an telah dikumpulkan, menunjukkan diperbolehkannya membakar kitab yang di dalamnya ada Nama-nama Allah Ta’ala. Bahwa hal itu sebagai penghormatan, menjaga agar tidak terinjak kaki dan melindungi dari hilangnya di tanah.[Syarkh Shahih Bukhori, 10/226]

Suyuthi mengatakan, “Kalau diperlukan untuk merusak sebagian kertas mushaf karena telah rusak atau semisalnya. Maka tidak diperbolehkan menaruh di bagian (dalam) atau lainnya. Karena bisa jadi jatuh dan terinjak. Tidak diperbolehkan juga menyobeknya, karena hal itu dapat menyobek huruf dan memisahkan kalimat. Hal itu menyalahi dari yang telah ditulisnya. Kalau dibakar dengan api, tidak mengapa. Utsman telah membakar mushaf-mushaf dan didalamnya ada ayat, bacaan yang telah dihapuskan. Dan tidak ada yang mengingkarinya.[Al-Itqon Fi Ulumil Qur’an, 2/1187].

Masing-masing pendapat –pendapat yang mengubur dan membakar – punya sisi (pandangan) oleh karena itu, kalau seseorang melakukan dua hal itu, tidak mengapa insyaallah. Meskipun pendapat yang membakar lebih utama, karena telah ada ketetapan dari para shahabar radhiallahu’anhum.

Syaikh Muhammad bin Ibrohim Ali Syaikh mengatakan, “Metode yang benar untuk memusnahkan kertas mushaf adalah dikubur di dalam masjid. Kalau tidak memungkinkan, maka dikubur di tempat suci dan bersih. Begitu juga boleh dibakarnya.” [Al-Fatawa, 13/8].

Dalam Fatawa Al-lajnah Ad-Daimah, 4/139 dikatakan, “Apa yang sobek dari Mushaf, kitab dan kertas-kertas yang ada di dalamnya ayat-ayat Al-Qur’an, dikubur di tempat bersih. Jauh dari lewatan orang dan dari tempat pembuangan kotoran. Atau dibakar, untuk menjaga dan melindungi dari pelecehan. Sebagaimana prilaku Utsman Radhiyallahu’anhu.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Akan tetapi seyogyanya setelah di bakar agar ditumbuk agar tidak berbekas sobekan kertasnya. Karena setelah dibakar masih terlihat gambar huruf sebagaimana yang telah banyak dilihat. Kalau ditubuk, maka telah menjadi abu dan telah hilang kekhawatiran ini.” [Fatawa Nurun ‘Ala Ad-Darbi, 16/148].

Sesuatu yang telah ada sekarang dan mungkin digunakan untuk memusnahkan mushaf adalah alat pemotong kertas. Dengan syarat harus lembut sekali dimana sampai tidak terlihat kalimat dan kata-katanya.

Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,”Perobekan harus terkena semua kalimat dan huruf. Hal ini sangat sulit kecuali ada alat yang dapat merobek-robek sangat kecil  sekali. Dimana sampai tidak terlihat gambar hurufnya. Dan ini adalah cara yang ketiga dan diperbolehkan.’ [Fatawa Nurun ‘Ala Ad-Darbi, 2/384].

Dalam kondisi dibakar mushaf yang diwakafkan atau dimusnahkan, maka tidak diharuskan menggantikannya.

Wallahu’alam .

Disalin dari islamqa


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2597-hukum-mushaf-wakaf-ketika-rusak-atau-robek.html